13 Desember 1994. Hari dimana puncak perjuangan
panjang seseorang selama 9 bulan dalam mengandungku. Tuhan telah memberikan aku
nyawa. Memberikan kesempatan bagiku untuk menangis dan mendengar kumandang
adzan untuk pertama kali. Sebuah doa telah terkabulkan. Percakapan denganNya
telah didengar. Jalan Tuhan telah jelas. Di bulan Desember tahun itu telah
terajut sejarah baru bagi orang-orang disekitarku.
18 tahun lalu aku menangis. Namun aku belum
yakin akan alasanku menangis kala itu. Tak ubah dengan saat itu, kini pun air
mataku tumpah. Namun aku yakin dengan jelas akan alasan mengapa aku menguras
air mata. Tangisan yang tak lain karena sebuah rasa yang berbaur; syukur, sesal
dan kesal. Syukur akan orang-orang yang dititipkan padaku, akan semua
kesempatan, nikmat, kemudahan. Sesal untuk semua kesempatan yang tak ku gunakan
dengan baik, pada hal-hal tak berguna yang telah ku lakukan. Kesal pada diri
sendiri yang belum mampu memberikan apa-apa bagi orang disekitarku di 18 tahun
terakhir.
Telah 18 tahun Tuhan membiarkan jiwa ini
bersarang pada raga, hingga jantung ini tak berhenti berdetak. Kusyukuri itu. “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”
Bukan umur panjang yang ku mohon jika tiada
gunaku. Bukan umur panjang yang ku pinta jika hidup ku menambah beban. Aku
ingin hidup, berjuang, belajar, menjadi lebih baik, memberi manfaat, menjadi
alasan setiap senyum dan tawa orang yang ku cinta. Aku ingin mencintai apa yang
patut ku cintai, Yaa Rabb.
Telah dewasa usiaku, dewasakanlah tingkahku, dewasakanlah
pola fikirku, dewasakanlah ilmuku, dewasakanlah cintaku. Aamiin..
0 Comments:
Posting Komentar