Kamis, 13 Desember 2012

Eighteen love



13 Desember 1994. Hari dimana puncak perjuangan panjang seseorang selama 9 bulan dalam mengandungku. Tuhan telah memberikan aku nyawa. Memberikan kesempatan bagiku untuk menangis dan mendengar kumandang adzan untuk pertama kali. Sebuah doa telah terkabulkan. Percakapan denganNya telah didengar. Jalan Tuhan telah jelas. Di bulan Desember tahun itu telah terajut sejarah baru bagi orang-orang disekitarku.

18 tahun lalu aku menangis. Namun aku belum yakin akan alasanku menangis kala itu. Tak ubah dengan saat itu, kini pun air mataku tumpah. Namun aku yakin dengan jelas akan alasan mengapa aku menguras air mata. Tangisan yang tak lain karena sebuah rasa yang berbaur; syukur, sesal dan kesal. Syukur akan orang-orang yang dititipkan padaku, akan semua kesempatan, nikmat, kemudahan. Sesal untuk semua kesempatan yang tak ku gunakan dengan baik, pada hal-hal tak berguna yang telah ku lakukan. Kesal pada diri sendiri yang belum mampu memberikan apa-apa bagi orang disekitarku di 18 tahun terakhir.

Telah 18 tahun Tuhan membiarkan jiwa ini bersarang pada raga, hingga jantung ini tak berhenti berdetak. Kusyukuri itu. “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”

Bukan umur panjang yang ku mohon jika tiada gunaku. Bukan umur panjang yang ku pinta jika hidup ku menambah beban. Aku ingin hidup, berjuang, belajar, menjadi lebih baik, memberi manfaat, menjadi alasan setiap senyum dan tawa orang yang ku cinta. Aku ingin mencintai apa yang patut ku cintai, Yaa Rabb.

Telah dewasa usiaku, dewasakanlah tingkahku, dewasakanlah pola fikirku, dewasakanlah ilmuku, dewasakanlah cintaku. Aamiin..

0 Comments:

Posting Komentar