Mataku mungkin telah tertutup saat aku melihat. Tertutup oleh rasa indah yang entah sesaat atau akan terus aku rasa. Aku penuh warna, yang aku tau bukan hanya putih dan hitam. Sekelilingku bagai terproyeksi oleh proyektor raksasa yang membuat daun itu biru, langit adalah merah. Proyektor itu, sebut saja cinta.
Saat mata tertutup proyeksi kaleidoskop. Yang ada, dunia terpusat hanya pada satu, tepat di tempat dimana ia berdiri. Kiri-kanan hanyalah warna, properti. Bahkan begitu melumpuhkan hingga tak merasa banyak pusat warna yang lebih indah dan cerah, lebih penuh warna.
Memang hidup terkadang tak bisa jadi teman diskusi. Aku tak sempat bertanya, "aku harus apa? aku harus bagaimana? selanjutnya akan seperti apa? setelah ini apa? lalu akan bagaimana?" Jika pun waktu menunggu, hidup tak kan menjawab, karena waktu dan hidup selalu berjalan beiringan.
Telah milyaran detik aku mendengar, jutaan menit aku berfikir, ribuan jam aku tak bergeming. Wahai hidup, salahkah? Jika salah, teriaki aku! Jika tidak, aku yang akan meneriakimu! Maki lah aku wahai, kehidupan! Maki aku jika aku pantas mendapat makian. Tertawakan aku! Tertawakanlah lemahku! Tertawalah atas apa yang tak ku punya! Keluarkan seluruh kemampuan mu tuk takhlukkan aku! Tundukkan aku di lututmu! Aku mungkin hanya tetap berjalan, terdiam dan terheran atau mungkin aku akan berbalik dan menghunuskan pedangku di jantungmu, tanpa pernah kau sadar.
Proyektor masih memproyeksi duniaku. Sekelilingku masih hitam, putih. Bumi masih datar, lurus tanpa hambatan, tak berbukit dan berbatu. Namun aku juga adalah pecundang yang tak mampu menantang perih. Merasa aman dengan rasa nyaman. Maka aku memilih hanya diam dan terus berjalan.
Terkadang aku terheran-heran. Bagaimana sebagian orang mampu begitu yakin akan jalan di depannya? akan jalan yang bahkan belum pernah mereka injak. Akan kah jalan bersimpang, atau buntu? Mungkin mereka hanya ingin meyakini apa yang mereka percaya akan bahkan harus terjadi. Bagaimana jika hidup berkehendak lain? Haruskah mereka merengek sambil menangis tersedu demi apa yang mereka ingini? Lalu, sanggupkah mereka menahan perih kegagalan? Atau bahkan memilih short cut agar menyudahi perjalanan? Sebuah kalimat klise menyebutkan, manusia harus berani menantang resiko. Tapi logikanya, jangan bertindak bodoh mencoba mengambil resiko. Lalu aku mau apa?
Tidak semua yang aku tulis adalah aku. Tidak semua yang kau baca juga aku. Tak semua yang kau dengar itu benar, bahkan kau bisa terkecoh oleh suara kecil di dekatmu, suara hati yang sejatinya bukan hati. Jika kau masih mengandalkan logika mu, jangan pernah sebut itu cinta. Jika logika terus bicara, maka percayalah aku akan berhenti.

0 Comments:
Posting Komentar