Minggu, 12 Agustus 2012

Satu Masa Diversity


Aku terdiam, ku lihat sekelilingku, ku lihat wajah-wajah yang jadi teman setia selama 3 tahun. Kenakalan kami tak berhenti meskipun kami tengah menanti hasil yang sangat menentukan jalan hidup kami kedepan. Bermacam-macam tingkah mereka saat ini. Hanya sebagian kecil yang benar-benar khidmat mendengarkan wejangan dan nasihat dari Bapak Kepala Sekolah, sedangkan yang lain? Saling menjahili satu sama lain, ada yang berfoto-foto, terdengar pula riuh tawa di samping kananku, beberapa yang saling bersalaman, ada pula yang sedang asik dan dengan pedenya mencoret-coret seragamnya, teman-teman dibarisan depan begitu serius mendengar ‘hidangan’ dari pak Kepsek, dan aku tau, seseorang tengah melihatku dari sudut belakang.
Ku tarik nafas panjang. Seperti mimpi, bagai tak nyata. Teringat semua hal yang telah kita lalui, semuanya terasa singkat, sangat sebentar. Semua kenangan selama 3 tahun ku rangkum jadi satu. Ku hembus nafas panjang.

Otakku secara otomatis mengulang detik saat MOS, betapa aku sangat malu ketika berdiri dengan Wiro dan beberapa orang kakak kelas di tengah lapangan, kami berdua terpilih sebagai adik favorit. Aku bingung, kenapa aku? Ada banyak siswa-siswi populer di hadapan sana. Kenapa kami berdua?

Ku ulang kembali saat pertama aku duduk sebagai siswi SMAN 1 Bangko di kelas IX. Di sebelah kiriku, Aulia Akbar, seseorang yang baru ku kenal, namun terasa telah begitu akrab. Suasana penuh kekeluargaan, persahabatan, perkenalan, adaptasi dan aku ingat momen ketika emosiku meledak saat beberapa temanku tak serius mendengarkan guru. Kala itu, aku semakin menghargai guru. Betapa seorang guru selalu berusaha membagi ilmu yang ia punya padamu, agak kau pintar, agar kau cerdas, agar kau sukses. Namun terkadang kita mencibir, meremehkan, terlalu menganggap hal itu sepele. Dan disaat itu pula, tersirat satu hasrat. Kelak kala aku telah terdidik, aku ingin mengajar, aku ingin mendidik.

Ku lihat dari jauh, kelas XI IPA 4, di gedung sebelah kanan, tak jauh dari tangga dan tempat fotocopy yang tepat di bawah tangga. Masih sangat jelas perasaanku waktu itu, ketika aku dinyatakan sebagai siswi kelas XI IPA 4. Aku takut, benci, tak bersemangat sama sekali. Rasanya ingin pindah dari kelas ini ke kelas sebelah, kelas XI IPA 3, agar sekelas dengan Meity atau XI IPA 1, agar sekelas dengan Nisa. Veby sependapat denganku kala itu. Kami ingin pindah dari kelas ini, namun digagalkan oleh pak Dedi, guru BP kami. “Coba kalian jalani dulu beberapa minggu, kalau masih gak nyaman dan benar-benar ingin pindah kelas, lapor ke saya ya!” ia berkata dengan logat khas jawanya itu. Mendengar kata-kata beliau, aku dan Veby menyerah. Akhirnya kami duduk sebangku hingga naik ke kelas XII. Dan setelah itu, tak pernah aku sedikitpun berniat pindah dari kelas manusia-manusia ajaib ini.

Kelas XI adalah awal mula rasa sadarku. Betapa memang, masa putih abu-abu sungguh indah! Tak bisa dibandingkan dengan masa saat TK, SD atau SMP. Bagiku, ini masa Emas! Pertemanan terasa begitu manis, semua cinta rasanya selalu ingin kami bagi. Aku salah tentang IPA 4. Aku salah ketika aku menganggap kelas ini ‘anak-anaknya gak asik’. Bersama mereka adalah momen yang sangat tak bisa aku lewatkan, bahkan hingga detik ini. Kami semua saling mendukung. Hal ini terasa ketika Aku dan beberapa temanku mengikuti olimpiade Bahasa Inggris di Pekanbaru. Meski tak berhasil memboyong piala, aku merasa seperti seseorang yang penting bagi mereka, atas energi semangat yang mereka tularkan. Ku ingat saat kami, XI IPA 4, mengikuti olimpiade Bahasa Indonesia di UNRI. Kebersamaan sangat terasa, walau terjadi banyak hal yang tak diharapkan, justru hal itu yang menyatukan kami. Kami semua semakin dekat, semakin akrab. Kini kami telah bisa membaca hitam dan putih didiri masing-masing.

Ku dongakkan kepalaku, ku tatap langit yang tak begitu cerah. Di beberapa bagian, terlihat gepulan awan hitam yang bergerak perlahan, seakan berkejaran, berlomba untuk menyatu dan menurunkan  Hujan. Setetes Rahmat Tuhan mengenai dahi ku. Ku tengadahkan tanganku ke depan, menampung air yang telah menjalani siklus ribuan bahkan jutaan kali. Gerimis. Setetes demi setetes, hingga tanganku basah. Teman berseragamku pun mulai riuh menyerukan hujan dan sibuk menutup kepala dengan apapun itu.

Masih berdiri di tempat yang sama. Khayalku berkelana dalam jalan panjangku selama 3 tahun belakangan ini.

Naik ke kelas XII aku duduk sebangku dengan Mery. Gadis tomboy yang ku beri panggilan sayang ‘kak meye’ ini adalah teman sekaligus kakak bagiku. Sedari awal, kami semua telah beranggapan “nikmati masa-masa kelas 3, waktu kita buat bareng-bareng mungkin tak lama lagi” hal inilah yang selalu kami pegang. Apapun itu, selalu dengan IPA 4. Kami tak pernah berjanji untuk selalu ‘kemana-mana bareng’. Tidak. Hanya saja, mungkin telah tertanam di jaringan otak kami masing-masing bahwa, “nikmati waktu yang tersisa, nikmati masa ini” hingga, semua kami kerjakan bersama-sama.

Ada jutaan kenangan di tempat ini, di sekolah ini. Di kelas, di taman kelas, di kantin, di musholla, di WC, di Lab komputer, di Lab kimia, di Perpusatakaan, di Lapangan olahraga, di parkiran, di gedung lantai 3, di tempat fotocopy, di halaman sekolah, di belakang kelas, di meja guru, di jendela kelas, di depan pintu, di koridor kelas, di tangga. Jutaan! Tak dapat ku gambarkan, tak dapat ku ungkapkan, tak dapat ku tulis. Hanya ingatan yang mampu bercerita. Bayangkanlah tempat-tempat istimewa itu satu per satu, pasti ada-ada saja hal yang bisa kau ingat, yang bisa kau tertawai. Kenangan yang meski itu pahit, namun tetap terasa manis saatku ingat. Meski dulu aku pernah menangis, namun saat ini aku tersenyum kala mengingat hal itu kembali.

Khayalanku buyar ketika seseorang menyenggol bahuku. Kembali ke alam nyata, jauh dari apa yang tengah aku kenang. Aku berdiri di lapangan ini, lapangan yang menjadi saksi derap langkah kami. Sebentar lagi hasil Ujian Nasional akan diumumkan. Aku yakin, sangat yakin, kami semua berhasil.

Benar saja, apa yang telah kami lakukan, sejalan dengan apa yang kami raih. Kami semua lulus.

Mataku berair, namun ku seka. 3 tahun kami disini, tak sia-sia. Perjalanan hidup kita memang telah panjang, namun tujuan kita masih jauh. Jauh di depan sana. Masih banyak hal yang akan kita lalui. Jika kelak kalian telah sampai di tujuan kalian, kenanglah kita. Ingat, kita pernah tertawa bahkan menangis bersama. Suatu saat kala aku telah sampai di titik lelahku, akan ku kenang cerita ini dan ku bagi rasaku pada mereka yang akan merasakannya pula.

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. hahaha iya, dian. teringat masa-masa SMA. bikin mewek :D

    BalasHapus
  3. mantap wi...
    teman adalah bayangan kita yang selalu ada ketika cahaya mu redup ataupun terang melebihi sinar matahari
    semangat kawan

    BalasHapus
  4. cie ciee adee puitis sekali hahahaa
    iya de.
    carpediem!
    raih hari, semangat! ;)

    BalasHapus