Aku terdiam, ku lihat
sekelilingku, ku lihat wajah-wajah yang jadi teman setia selama 3 tahun.
Kenakalan kami tak berhenti meskipun kami tengah menanti hasil yang sangat
menentukan jalan hidup kami kedepan. Bermacam-macam tingkah mereka saat ini.
Hanya sebagian kecil yang benar-benar khidmat mendengarkan wejangan dan nasihat
dari Bapak Kepala Sekolah, sedangkan yang lain? Saling menjahili satu sama
lain, ada yang berfoto-foto, terdengar pula riuh tawa di samping kananku,
beberapa yang saling bersalaman, ada pula yang sedang asik dan dengan pedenya
mencoret-coret seragamnya, teman-teman dibarisan depan begitu serius mendengar ‘hidangan’
dari pak Kepsek, dan aku tau, seseorang tengah melihatku dari sudut belakang.
Ku tarik nafas panjang. Seperti
mimpi, bagai tak nyata. Teringat semua hal yang telah kita lalui, semuanya
terasa singkat, sangat sebentar. Semua kenangan selama 3 tahun ku rangkum jadi
satu. Ku hembus nafas panjang.
Otakku secara otomatis mengulang
detik saat MOS, betapa aku sangat malu ketika berdiri dengan Wiro dan beberapa
orang kakak kelas di tengah lapangan, kami berdua terpilih sebagai adik
favorit. Aku bingung, kenapa aku? Ada banyak siswa-siswi populer di hadapan
sana. Kenapa kami berdua?
Ku ulang kembali saat pertama aku
duduk sebagai siswi SMAN 1 Bangko di kelas IX. Di sebelah kiriku, Aulia Akbar,
seseorang yang baru ku kenal, namun terasa telah begitu akrab. Suasana penuh
kekeluargaan, persahabatan, perkenalan, adaptasi dan aku ingat momen ketika
emosiku meledak saat beberapa temanku tak serius mendengarkan guru. Kala itu,
aku semakin menghargai guru. Betapa seorang guru selalu berusaha membagi ilmu
yang ia punya padamu, agak kau pintar, agar kau cerdas, agar kau sukses. Namun
terkadang kita mencibir, meremehkan, terlalu menganggap hal itu sepele. Dan
disaat itu pula, tersirat satu hasrat. Kelak kala aku telah terdidik, aku ingin
mengajar, aku ingin mendidik.
Ku lihat dari jauh, kelas XI IPA
4, di gedung sebelah kanan, tak jauh dari tangga dan tempat fotocopy yang tepat
di bawah tangga. Masih sangat jelas perasaanku waktu itu, ketika aku dinyatakan
sebagai siswi kelas XI IPA 4. Aku takut, benci, tak bersemangat sama sekali.
Rasanya ingin pindah dari kelas ini ke kelas sebelah, kelas XI IPA 3, agar
sekelas dengan Meity atau XI IPA 1, agar sekelas dengan Nisa. Veby sependapat
denganku kala itu. Kami ingin pindah dari kelas ini, namun digagalkan oleh pak
Dedi, guru BP kami. “Coba kalian jalani dulu beberapa minggu, kalau masih gak
nyaman dan benar-benar ingin pindah kelas, lapor ke saya ya!” ia berkata dengan
logat khas jawanya itu. Mendengar kata-kata beliau, aku dan Veby menyerah.
Akhirnya kami duduk sebangku hingga naik ke kelas XII. Dan setelah itu, tak
pernah aku sedikitpun berniat pindah dari kelas manusia-manusia ajaib ini.
Kelas XI adalah awal mula rasa
sadarku. Betapa memang, masa putih abu-abu sungguh indah! Tak bisa dibandingkan
dengan masa saat TK, SD atau SMP. Bagiku, ini masa Emas! Pertemanan terasa
begitu manis, semua cinta rasanya selalu ingin kami bagi. Aku salah tentang IPA
4. Aku salah ketika aku menganggap kelas ini ‘anak-anaknya gak asik’. Bersama
mereka adalah momen yang sangat tak bisa aku lewatkan, bahkan hingga detik ini.
Kami semua saling mendukung. Hal ini terasa ketika Aku dan beberapa temanku mengikuti
olimpiade Bahasa Inggris di Pekanbaru. Meski tak berhasil memboyong piala, aku
merasa seperti seseorang yang penting bagi mereka, atas energi semangat yang
mereka tularkan. Ku ingat saat kami, XI IPA 4, mengikuti olimpiade Bahasa
Indonesia di UNRI. Kebersamaan sangat terasa, walau terjadi banyak hal yang tak
diharapkan, justru hal itu yang menyatukan kami. Kami semua semakin dekat,
semakin akrab. Kini kami telah bisa membaca hitam dan putih didiri
masing-masing.
Ku dongakkan kepalaku, ku tatap
langit yang tak begitu cerah. Di beberapa bagian, terlihat gepulan awan hitam
yang bergerak perlahan, seakan berkejaran, berlomba untuk menyatu dan
menurunkan Hujan. Setetes Rahmat Tuhan
mengenai dahi ku. Ku tengadahkan tanganku ke depan, menampung air yang telah
menjalani siklus ribuan bahkan jutaan kali. Gerimis. Setetes demi setetes,
hingga tanganku basah. Teman berseragamku pun mulai riuh menyerukan hujan dan
sibuk menutup kepala dengan apapun itu.
Masih berdiri di tempat yang
sama. Khayalku berkelana dalam jalan panjangku selama 3 tahun belakangan ini.
Naik ke kelas XII aku duduk
sebangku dengan Mery. Gadis tomboy yang ku beri panggilan sayang ‘kak meye’ ini
adalah teman sekaligus kakak bagiku. Sedari awal, kami semua telah beranggapan
“nikmati masa-masa kelas 3, waktu kita buat bareng-bareng mungkin tak lama
lagi” hal inilah yang selalu kami pegang. Apapun itu, selalu dengan IPA 4. Kami
tak pernah berjanji untuk selalu ‘kemana-mana bareng’. Tidak. Hanya saja,
mungkin telah tertanam di jaringan otak kami masing-masing bahwa, “nikmati
waktu yang tersisa, nikmati masa ini” hingga, semua kami kerjakan bersama-sama.
Ada jutaan kenangan di tempat
ini, di sekolah ini. Di kelas, di taman kelas, di kantin, di musholla, di WC,
di Lab komputer, di Lab kimia, di Perpusatakaan, di Lapangan olahraga, di
parkiran, di gedung lantai 3, di tempat fotocopy, di halaman sekolah, di
belakang kelas, di meja guru, di jendela kelas, di depan pintu, di koridor
kelas, di tangga. Jutaan! Tak dapat ku gambarkan, tak dapat ku ungkapkan, tak
dapat ku tulis. Hanya ingatan yang mampu bercerita. Bayangkanlah tempat-tempat
istimewa itu satu per satu, pasti ada-ada saja hal yang bisa kau ingat, yang
bisa kau tertawai. Kenangan yang meski itu pahit, namun tetap terasa manis
saatku ingat. Meski dulu aku pernah menangis, namun saat ini aku tersenyum kala
mengingat hal itu kembali.
Khayalanku buyar ketika seseorang
menyenggol bahuku. Kembali ke alam nyata, jauh dari apa yang tengah aku kenang.
Aku berdiri di lapangan ini, lapangan yang menjadi saksi derap langkah kami.
Sebentar lagi hasil Ujian Nasional akan diumumkan. Aku yakin, sangat yakin,
kami semua berhasil.
Benar saja, apa yang telah kami
lakukan, sejalan dengan apa yang kami raih. Kami semua lulus.
Mataku berair, namun ku seka. 3
tahun kami disini, tak sia-sia. Perjalanan hidup kita memang telah panjang,
namun tujuan kita masih jauh. Jauh di depan sana. Masih banyak hal yang akan
kita lalui. Jika kelak kalian telah sampai di tujuan kalian, kenanglah kita. Ingat,
kita pernah tertawa bahkan menangis bersama. Suatu saat kala aku telah sampai
di titik lelahku, akan ku kenang cerita ini dan ku bagi rasaku pada mereka yang
akan merasakannya pula.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussodiih.,
BalasHapusMmm
hahaha iya, dian. teringat masa-masa SMA. bikin mewek :D
BalasHapusmantap wi...
BalasHapusteman adalah bayangan kita yang selalu ada ketika cahaya mu redup ataupun terang melebihi sinar matahari
semangat kawan
Woi geeeeeng hahaha
Hapuscie ciee adee puitis sekali hahahaa
BalasHapusiya de.
carpediem!
raih hari, semangat! ;)