Selasa, 26 Juni 2012

this second family


Speechless.

Sulit mengungkapkan betapa menyenangkannya malam ini, kembali bertemu dengan beberapa anggota keluarga kedua, teman seperjuanganku, tempat berbagi ilmu, sosok penyulut semangatku, IPA 4.

Mungkin tidak semua teman sekelasku yang bisa ikut kembali bernostalgia gila bersama lagi tadi, hanya ada 6 jagoan pejuang kesuksesan yang melepas rindu, termasuk aku.
Pukul 8 malam aku menuju kerumah teman-sejak-TK ku ini, Juwita Sari namanya. Ia adalah seorang pelawak sejati. selalu saja ada hal-hal yang bisa ia jadikan bahan untuk lelucon. mulai dari hal kecil, misalnya gaya rambut orang yang ia lihat, cara berjalan, atau bahkan nama seseorang saja jadi topik yang asik untuk dikupas dan dijadikan bahan candaan. tapi tentu saja, Ia masih tau norma, masih tau batas dan sopan santun dalam bergurau, walau terkadang deru tawanya yang menggelegar agak sedikit mengganggu pendengaran. haha

Kami memang berjanji untuk berkumpul di rumah sahabatku itu sebelum pergi menjelajah kota dan mencari tempat tongkrongan seru. Sedikit dongkol saat tau rumah Juwita masih sepi pengunjung. Belum ada satu pun batang hidung mereka ku lihat. Yang ada hanya Ayahnya Juwita yang sedang sibuk memarkirkan sepeda motor di halaman depan sehabis pulang dari musholla.
"Wit, dwi di luar wit" Ayah Juwita berkata dengan hampir berteriak.
"Woo, dwi. Aku belum siap-siap wi" sahut juwita yang berlari menuju pintu.
aah, anak ini ! gumamku dalam hati.
"Eeh, ganti bajulah sana wik. lamret kali !"

Selagi menunggu di teras, ku telfon mantan ketua osis sekaligus mantan ketua kelas kami, Kasmariadi Dahlan namanya. Harus aku akui bahwa sahabatku yang satu ini memang memiliki karisma yang khas dibanding teman lelaki lain yang sekelas denganku. Hal ini karena jiwa kepemimpinannya yang bisa dikatakan cukup baik dan tegas. Ia selalu dijadikan tempat bertanya untuk memastikan kepastian dalam mengambil sebuah keputusan. Iya, dia seolah abang bagi kami. Namun kadang, justru Ia lah yang jadi sosok yang kekanak-kanakan dan tak lagi berwibawa di mata kami. Hal itu terjadi kala Ia sedang jahil. Ia bisa menjadi sangat gila dan nekat, juga candaannya yang terkenal maut dan bikin mati kutu adalah salah satu hal yang harus diwaspadai dari lelaki berparas mirip presiden Amerika, Barrack Obama.
"Halo. Kas, dimana?" Seru ku spontan.
"Emm, aku di rumah Juwita ni. Cepatlah datang kesini" sahutnya sambil berdehem.
"Nampak kali bohongnya. Aku belangau ni ha di rumah Juwita nunggu kalian" jawabku dengan sedikit menekan suara.
"Hahahahaha serius wi? aku kira kau belum datang. Iyalah, sabar ya. Aku ngantar umi dulu"
"Ooh, okelah. Eh, jangan lupa jemput Zia ya!"

Hampir 5 menit menunggu, datanglah sahabatku yang bertubuh kurus dan tinggi ini, Venni Devita. Rasanya ingin ku peluk sahabatku ini. Hahaha bukan, kami bukan pasangan lesbian. Hal ini karena anak satu ini adalah temanku berbagi pendapat, berbagi solusi, teman berunding, salah satu sosok yang mampu menyulutkan semangatku yang naik-turun. Namun, ku urungkan niatku memeluk anak ini. Anak ini tinggi sekali jika dibandingkan dengan postur tubuhku yang terbilang agak kecil (baca : pendek). Dengan warna baju dan jilbab yang senada denganku, biru gelap, warna favorit kami, Ia pamerkan lesung pipit yang hampir tak terlihat dari sudut pipinya. Ku jabat tangannya, dan brrrrr terasa dingin sekali.
"Weeei, mbak pede. Apo cito?" Seru ku.
"Elok wei. haha"
"Happy Birthday yo, btw. Kurang afdol kalo tak ngucapin langsung wei"
"Makasih wei"
Kemudian, perbincangan seru dan menggebu pun dimulai ...

Juwita telah selesai berdan-dan kala Endra Kurniawan tiba. Layaknya Venni, tubuh sahabatku ini menjulang tinggi sekali. Jika Ia berdiri disampingku, aku yakin, aku terlihat bagai kurcaci yang berdiri di samping ring bola basket. Kami biasa memanggilnya "Engkol". Panggilan ini berasal dari warna kulitnya yang gelap. "Endra Koling" (koling : hitam). Dia tidak pernah (atau tidak berani) protes jika kami panggil seperti itu. Seperti yang Ia sering bilang sambil tersenyum innocent namun tetap penuh arti "terima nasib ajalah" adalah hal yang sangat pasrah yang pernah aku dengar dan seketika itu tawaku pasti menggelegar. Walau berkulit gelap, pria satu ini mampu setidaknya menggaet hati seorang calon perawat, Juwita Sari. Yap, teman-sejak-TK ku. Haha diantara mereka memang pernah ada getar-getar yang beresiko 'jadian'. Hal itu terjadi ketika kami berada ditahun ajaran baru kelas XI, dan kami semua baru akan mulai mengenal satu sama lain. Untuk alasan tertentu, sangat pribadi dan tak bisa aku paparkan disini, getar-getar yang mereka rasa pun surut. Namun kini, sepertinya getar itu terasa lagi :)
"Weis, apo cito bro? tambah ganteng nampak ko haha" candaku sambil menjabat tangannya.
"Sehat wi. Tontulah tambah ganteng haha" Seru nya narsis.
"Tontulah tambah ganteng, calon pegawai na ko" celetuk juwita seraya tertawa.
"Moh, maju kawan awak ko. Calon pegawai ya? Udah tu kredit honda lah yo haha" tambah Venni.
Bertambahlah satu bahan candaan lagi bagi kami.
"Usah aku tuan enyeh lai woi haha" sahut Endra pasrah seraya duduk di sisi kanan Juwita

Sedang riuh tawa kami, Ade Wijaya pun datang.
Naah, ini dia musisi di kelas kami. Sahabatku ini sering dijadikan orchestra atau tempat untuk request lagu agar dinyanyikan bersama oleh teman sekelasku. Iya, Ia jago memainkan alat musik, misalnya, gitar, piano, ataupun drum. Alat musik adalah teman sehari-hari baginya. Dan Ade adalah rekanku dalam berbagi komentar seputar Blog ataupun perkembangan teknologi, bertukar ilmu atau berbagi tips mengenai komputer.
"Wi, datanya gimana?"
"Aih, lupa aku bawa flash disknya, de. Ketinggalan di rumah. Udah aku copy tadi, de"
"Pas pulang nanti ajalah aku ambil ya"

 The last, tinggal nungguin bapak dan ibu presiden. Lamanya, naudzubillah.
Setelah bersabar-sabar menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Kasmar dan Zia. Oh ya, Lazia Lestari, kami biasa memanggilnya Zia. Sahabatku ini tak jauh beda dari yang lain, namun yang satu ini the most of the most nya heboh. Rasanya kalau ada hidung ini anak, dunia seolah tertawa bersama kami, sekalipun yang Ia tertawakan adalah aku sendiri, rasanya tetap saja lucu, menertawakan diri sendiri atas kekonyolan, ke-tidak-kerenan dan ke-jijayan kita.

Itulah sekelumit gambaran tentang mereka di mataku. Betapa luar biasanya mereka bagiku. Mereka tentu juga punya pandangan tersendiri tentang aku. Entah bagaimana mereka memandang siapa diriku selama ini. Terlepas dari cara pandang mereka terhadap aku, bagiku, aku adalah tak lebih dari seorang teman yang pastinya kadang menjengkelkan bagi mereka, karena aku tau, aku sering berargumen yang terkadang bisa sangat pedas, terkadang hobi berdebat. Kadang, aku juga jadi sosok yang suka sotoy misalnya "heci ni kaya makanan Orang Sunda lah ya, apa tu namanya woi? Eh, lupa aku namanya." Tuh, sotoy sendiri kan ? haha. Dan satu lagi yang pasti adalah aku suka tertawa, menertawakan dan terkadang ditertawai. Ketika aku ingin berbagi joke ringan, eh, ternyata garing, malah aku yang di tertawai. haha

Setelah terkumpul semua, kami pun beranjak dari rumah Juwita (baca : markas) ke jalan menuju kawasan batu 6, cuaca malam itu benar-benar dingin. Dingin sekali pemirsa. Untungnya, Kasmar, sahabatku yang baik hati dan rajin menabung ini berbaik hati meminjamkan jaket yang tadinya Ia kenakan untuk aku pakai. Waah, aku terharu sekali.

Bosan diselubung hawa sejuk Bagansiapiapi malam itu, kami berhenti di tempat tongkrongan-paling-ramai-pengunjung, yakni kedai kopi. Kami bercengkrama, berbagi tawa, ditemani secangkir cappucino hangat dan cemilan, Heci namanya, makanan serupa bakwan dengan saus sambal yang nikmatnya terasa luar biasa saat itu. Cuaca yang sejuk, terasa begitu hangat karena energi yang mereka tular, tawa yang mereka bagi, senyum yang mereka umbar.

They are my besties, my lovely, my second family, orang-orang terbaik yang dititip Tuhan padaku. Yaa Allah, ridhoi persahabatan kami hingga akhir nanti, seperti yang sering kami seru kan. Best friend until the end. aamiin.

0 Comments:

Posting Komentar