Sabtu, 30 Juni 2012

Coldplay - Yellow


Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah they were all yellow

I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called yellow

So then I took my turn
Oh what a thing to have done
And it was all yellow

Your skin
Oh yeah your skin and bones
Turn into something beautiful
You know you know I love you so
You know I love you so

I swam across
I jumped across for you
Oh what a thing to do

Cause you were all yellow
I drew a line
I drew a line for you
Oh what a thing to do
And it was all yellow

Your skin
Oh yeah your skin and bones
Turn into something beautiful
And you know
For you I'd bleed myself dry
For you I'd bleed myself dry

It's true
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine for
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine

Look at the stars
Look how they shine for you
And all the things that you do

Selasa, 26 Juni 2012

this second family


Speechless.

Sulit mengungkapkan betapa menyenangkannya malam ini, kembali bertemu dengan beberapa anggota keluarga kedua, teman seperjuanganku, tempat berbagi ilmu, sosok penyulut semangatku, IPA 4.

Mungkin tidak semua teman sekelasku yang bisa ikut kembali bernostalgia gila bersama lagi tadi, hanya ada 6 jagoan pejuang kesuksesan yang melepas rindu, termasuk aku.
Pukul 8 malam aku menuju kerumah teman-sejak-TK ku ini, Juwita Sari namanya. Ia adalah seorang pelawak sejati. selalu saja ada hal-hal yang bisa ia jadikan bahan untuk lelucon. mulai dari hal kecil, misalnya gaya rambut orang yang ia lihat, cara berjalan, atau bahkan nama seseorang saja jadi topik yang asik untuk dikupas dan dijadikan bahan candaan. tapi tentu saja, Ia masih tau norma, masih tau batas dan sopan santun dalam bergurau, walau terkadang deru tawanya yang menggelegar agak sedikit mengganggu pendengaran. haha

Kami memang berjanji untuk berkumpul di rumah sahabatku itu sebelum pergi menjelajah kota dan mencari tempat tongkrongan seru. Sedikit dongkol saat tau rumah Juwita masih sepi pengunjung. Belum ada satu pun batang hidung mereka ku lihat. Yang ada hanya Ayahnya Juwita yang sedang sibuk memarkirkan sepeda motor di halaman depan sehabis pulang dari musholla.
"Wit, dwi di luar wit" Ayah Juwita berkata dengan hampir berteriak.
"Woo, dwi. Aku belum siap-siap wi" sahut juwita yang berlari menuju pintu.
aah, anak ini ! gumamku dalam hati.
"Eeh, ganti bajulah sana wik. lamret kali !"

Selagi menunggu di teras, ku telfon mantan ketua osis sekaligus mantan ketua kelas kami, Kasmariadi Dahlan namanya. Harus aku akui bahwa sahabatku yang satu ini memang memiliki karisma yang khas dibanding teman lelaki lain yang sekelas denganku. Hal ini karena jiwa kepemimpinannya yang bisa dikatakan cukup baik dan tegas. Ia selalu dijadikan tempat bertanya untuk memastikan kepastian dalam mengambil sebuah keputusan. Iya, dia seolah abang bagi kami. Namun kadang, justru Ia lah yang jadi sosok yang kekanak-kanakan dan tak lagi berwibawa di mata kami. Hal itu terjadi kala Ia sedang jahil. Ia bisa menjadi sangat gila dan nekat, juga candaannya yang terkenal maut dan bikin mati kutu adalah salah satu hal yang harus diwaspadai dari lelaki berparas mirip presiden Amerika, Barrack Obama.
"Halo. Kas, dimana?" Seru ku spontan.
"Emm, aku di rumah Juwita ni. Cepatlah datang kesini" sahutnya sambil berdehem.
"Nampak kali bohongnya. Aku belangau ni ha di rumah Juwita nunggu kalian" jawabku dengan sedikit menekan suara.
"Hahahahaha serius wi? aku kira kau belum datang. Iyalah, sabar ya. Aku ngantar umi dulu"
"Ooh, okelah. Eh, jangan lupa jemput Zia ya!"

Hampir 5 menit menunggu, datanglah sahabatku yang bertubuh kurus dan tinggi ini, Venni Devita. Rasanya ingin ku peluk sahabatku ini. Hahaha bukan, kami bukan pasangan lesbian. Hal ini karena anak satu ini adalah temanku berbagi pendapat, berbagi solusi, teman berunding, salah satu sosok yang mampu menyulutkan semangatku yang naik-turun. Namun, ku urungkan niatku memeluk anak ini. Anak ini tinggi sekali jika dibandingkan dengan postur tubuhku yang terbilang agak kecil (baca : pendek). Dengan warna baju dan jilbab yang senada denganku, biru gelap, warna favorit kami, Ia pamerkan lesung pipit yang hampir tak terlihat dari sudut pipinya. Ku jabat tangannya, dan brrrrr terasa dingin sekali.
"Weeei, mbak pede. Apo cito?" Seru ku.
"Elok wei. haha"
"Happy Birthday yo, btw. Kurang afdol kalo tak ngucapin langsung wei"
"Makasih wei"
Kemudian, perbincangan seru dan menggebu pun dimulai ...

Juwita telah selesai berdan-dan kala Endra Kurniawan tiba. Layaknya Venni, tubuh sahabatku ini menjulang tinggi sekali. Jika Ia berdiri disampingku, aku yakin, aku terlihat bagai kurcaci yang berdiri di samping ring bola basket. Kami biasa memanggilnya "Engkol". Panggilan ini berasal dari warna kulitnya yang gelap. "Endra Koling" (koling : hitam). Dia tidak pernah (atau tidak berani) protes jika kami panggil seperti itu. Seperti yang Ia sering bilang sambil tersenyum innocent namun tetap penuh arti "terima nasib ajalah" adalah hal yang sangat pasrah yang pernah aku dengar dan seketika itu tawaku pasti menggelegar. Walau berkulit gelap, pria satu ini mampu setidaknya menggaet hati seorang calon perawat, Juwita Sari. Yap, teman-sejak-TK ku. Haha diantara mereka memang pernah ada getar-getar yang beresiko 'jadian'. Hal itu terjadi ketika kami berada ditahun ajaran baru kelas XI, dan kami semua baru akan mulai mengenal satu sama lain. Untuk alasan tertentu, sangat pribadi dan tak bisa aku paparkan disini, getar-getar yang mereka rasa pun surut. Namun kini, sepertinya getar itu terasa lagi :)
"Weis, apo cito bro? tambah ganteng nampak ko haha" candaku sambil menjabat tangannya.
"Sehat wi. Tontulah tambah ganteng haha" Seru nya narsis.
"Tontulah tambah ganteng, calon pegawai na ko" celetuk juwita seraya tertawa.
"Moh, maju kawan awak ko. Calon pegawai ya? Udah tu kredit honda lah yo haha" tambah Venni.
Bertambahlah satu bahan candaan lagi bagi kami.
"Usah aku tuan enyeh lai woi haha" sahut Endra pasrah seraya duduk di sisi kanan Juwita

Sedang riuh tawa kami, Ade Wijaya pun datang.
Naah, ini dia musisi di kelas kami. Sahabatku ini sering dijadikan orchestra atau tempat untuk request lagu agar dinyanyikan bersama oleh teman sekelasku. Iya, Ia jago memainkan alat musik, misalnya, gitar, piano, ataupun drum. Alat musik adalah teman sehari-hari baginya. Dan Ade adalah rekanku dalam berbagi komentar seputar Blog ataupun perkembangan teknologi, bertukar ilmu atau berbagi tips mengenai komputer.
"Wi, datanya gimana?"
"Aih, lupa aku bawa flash disknya, de. Ketinggalan di rumah. Udah aku copy tadi, de"
"Pas pulang nanti ajalah aku ambil ya"

 The last, tinggal nungguin bapak dan ibu presiden. Lamanya, naudzubillah.
Setelah bersabar-sabar menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Kasmar dan Zia. Oh ya, Lazia Lestari, kami biasa memanggilnya Zia. Sahabatku ini tak jauh beda dari yang lain, namun yang satu ini the most of the most nya heboh. Rasanya kalau ada hidung ini anak, dunia seolah tertawa bersama kami, sekalipun yang Ia tertawakan adalah aku sendiri, rasanya tetap saja lucu, menertawakan diri sendiri atas kekonyolan, ke-tidak-kerenan dan ke-jijayan kita.

Itulah sekelumit gambaran tentang mereka di mataku. Betapa luar biasanya mereka bagiku. Mereka tentu juga punya pandangan tersendiri tentang aku. Entah bagaimana mereka memandang siapa diriku selama ini. Terlepas dari cara pandang mereka terhadap aku, bagiku, aku adalah tak lebih dari seorang teman yang pastinya kadang menjengkelkan bagi mereka, karena aku tau, aku sering berargumen yang terkadang bisa sangat pedas, terkadang hobi berdebat. Kadang, aku juga jadi sosok yang suka sotoy misalnya "heci ni kaya makanan Orang Sunda lah ya, apa tu namanya woi? Eh, lupa aku namanya." Tuh, sotoy sendiri kan ? haha. Dan satu lagi yang pasti adalah aku suka tertawa, menertawakan dan terkadang ditertawai. Ketika aku ingin berbagi joke ringan, eh, ternyata garing, malah aku yang di tertawai. haha

Setelah terkumpul semua, kami pun beranjak dari rumah Juwita (baca : markas) ke jalan menuju kawasan batu 6, cuaca malam itu benar-benar dingin. Dingin sekali pemirsa. Untungnya, Kasmar, sahabatku yang baik hati dan rajin menabung ini berbaik hati meminjamkan jaket yang tadinya Ia kenakan untuk aku pakai. Waah, aku terharu sekali.

Bosan diselubung hawa sejuk Bagansiapiapi malam itu, kami berhenti di tempat tongkrongan-paling-ramai-pengunjung, yakni kedai kopi. Kami bercengkrama, berbagi tawa, ditemani secangkir cappucino hangat dan cemilan, Heci namanya, makanan serupa bakwan dengan saus sambal yang nikmatnya terasa luar biasa saat itu. Cuaca yang sejuk, terasa begitu hangat karena energi yang mereka tular, tawa yang mereka bagi, senyum yang mereka umbar.

They are my besties, my lovely, my second family, orang-orang terbaik yang dititip Tuhan padaku. Yaa Allah, ridhoi persahabatan kami hingga akhir nanti, seperti yang sering kami seru kan. Best friend until the end. aamiin.

Minggu, 17 Juni 2012

Getir di 17 Juni


Demi asma Mu, detik ini telah Kau bukakan mataku. dari kebutaan yang sungguh membutakan. hamdalah .. 

Rasanya ingin ku ciumi  punggung tangan abangku ini ,yang begitu mencintai dan begitu peduli padaku. bermula dari pertanyaan kecilnya padaku saat aku tengah berkutat pada Novel 5 Cm ku itu.
"Abis dari mana, wik ?"
"Makan, kak"
"Sama ?"
"........"
"Trus pacar dia?"
"Yang mana?"
"Aku sering liat dia ngebacot di twitter sama cewek, ntah siapa tu namanya, pokoknya namanya ada kata 'chubby' gitulah"
"Kawan di kelas dia tu kak"
"Kalau kawan tak mungkin menggatal gitu. Pake sayang-sayangan" tukasnya tegas.

Aku tak bergeming, hening.
Aku mencoba agar tak tersulut emosi, ku hapus pikiran yang menggambarkan begitu tak berotak atau tak berhatinya dia. Ku coba berpikir sejernih mungkin. Ku tanyakan hal itu padanya. Dan tentu saja, ia menjawab pertanyaanku tadi dengan kata-kata yang sungguh menjanjikan dan sangat diperhitungkan untuk dapat dipercaya. Bahkan pada awalnya aku yang dipojokkan. "siapa yang salah, gak mau follow twitter aku, kalo difollow aku kan gak macam-macam." Dia juga sempat menyalahkan si 'chubby' tadi "bukannya menggatal, ceweknya aja yang gatal. aku cuma pengin bersikap ramah, sumpeh deh. kalo bohong, aku ditabrak ni."
Saat itu, setan yang entah dari mana mengaminkan kalimat itu. "aamiin" namun tentu malaikat tak mau kalah.


Aku ingin setabah, sekuat, dan setegar mama dalam hal ini :)

Aku tahu persis, wanita itu pernah merasakan getir ini, bahkan mungkin jauh lebih perih dari yang aku tahu. Namun, Ia tetap bertahan, dengan pria yang sama, dengan cinta yang sama, dan dengan ketulusan yang sama, selalu Ia jaga hatinya, hanya untuk satu ! Entah terbuat dari apa hati wanita yang ku kagumi itu. Teduh matanya seolah selalu berdoa setiap menatapku, berharap anaknya akan jauh lebih lebat darinya.
Aku yakin, suatu saat nanti, Tuhan akan membalasnya dengan surga yang terindah yang pernah tercipta.


Dan kini, kau ukir sejarah baru. terima kasih. sangat berkesan.

Hingga detik ini, tanganku masih gemetar, berkeringat. Entah kenapa. Mungkin aku terlalu kagum atas segala pencapaianmu selama beberapa bulan ini, hingga aku begitu nyaman merasakan hangat akan api yang telah kau sulut.

Aku salut, ketika dengan bangga dan seakan tak berdosa kau 'bertegur-sapa' atau 'ramah-tamah' dengan temanmu atau calon makmum mu itu. Aku tercekat, saat melihat apa yang kau tulis, sama persis dengan yang pernah kau ucap padaku. Ironi.

Bravo, permainan yang tak berderik, nyaris tak tercium olehku. Aku terkesan.


Meski ingin menjerit, namun hatiku masih terlalu kuat untuk kau patahkan :)  

Jika ditanya, kecewa atau tidaknya aku. Tentu akan sangat munafik sekali jika ku katakan 'Tidak'. Namun rasa kecewa ini kalah oleh rasa tak percayaku. Seperti mimpi. Ingin ku tampar atau ku cubit lenganku agar aku terbangun dari mimpi buruk yang bahkan tak pernah terbayang sedetikpun oleh ku. 

Segar di ingatan, kau kembali datang ketika Ibu mu baru saja selesai melaksanakan operasi. Aku prihatin pada ibu mu yang baik dan ramah padaku. Lalu kau mulai membahas 'kisah yang belum usai' dulu. Kau mengaku, kita seperti ini hanya karena kesalah fahaman dan keegoisanmu.
Terutama saat ini, untuk kesekian kali, dengan kesalahan yang sama, bahkan jauh lebih fatal dan berlanjut selama berbulan-bulan. Kebohongan yang kau pelihara kini telah berbuah. Petiklah ! entah itu pahit atau manis yang kau peroleh, mungkin kau tak akan sadar.

Ingin aku menjerit melihat apa yang ku baca. Tanganku tanpa berhenti gemetar, terus membaca apa yang kau gores di wall mu. Tak menyangka itu sungguh dirimu.
Tak apa, layaknya ibuku, hatiku masih terlalu kuat untuk kau patahkan.


Sungguh besar cinta Allah padaku :) 

Hingga pagi ini, aku masih terus berucap 'hamdalah' karena aku merasa telah bangun dan lega setelah mengetahui apa dan siapa sesungguhnya dirimu. Pagi ini, kusirami anggota tubuhku, aku bersujud untuk sejenak, menunaikan apa yang menjadi hal yang paling pertama ditagih kelak.
Aku semakin sadar akan 2 hal yang pasti, Allah begitu cinta padaku dan cinta sejati hanyalah dari Mu Yaa Rabb.


Hikmah : semoga aku tak buta lagi.  

Aku sadar, akan selalu ada hikmah yang bisa ku petik dari setiap hal yang ku lewati ditiap harinya.
Subuh ini, setelah mengucap salam pada rakaaat akhir, istighfar tak lupa ku ucapkan atas khilafku. Seakan terbesit di benakku dan meneguhkan hatiku akan satu hikmah yang luar biasa. Allah menunjukkan jati diri orang itu sebelum aku semakin larut dalam dusta dan kebohongannya, bahkan bisa jauh lebih buruk dari itu. 


Getir, hampir tak percaya. memang sejatinya, kau tak patut jadi yang ku banggakan selama ini. 

Kau adalah seberkas masa lalu yang datang kembali, seolah menjadi de javu. Aku lunak olehnya, oleh perkataan yang belum tentu pantas ku percaya, oleh perkataan yang manis begitu meyakinkanku.
Kau adalah kakak kelasku, kakak senior berkaca mata yang pernah mampir ke kelasku, X.2, untuk memeriksa hasil Majalah Dinding yang kami pamer di depan kelas. Kau adalah abang dari seorang temanku yang walau sebaya, ia selalu memanggil ku 'kak', seorang teman yang ramah, periang, dan penuh semangat, persis mencerminkan dirimu. Kau adalah teman, sahabat, abang, senior bahkan seseorang yang kuanggap istimewa. Tempatku becerita kala hari terasa berat untuk ku jalani sendiri tanpa ada yang bisa ku jejali keluhan. Kau adalah orang yang selalu kubanggakan -selain keluarga- di hadapan teman-temanku. Selalu saja ada hal yang membuatmu menang dibanding siapapun yang pernah ku kenal. Seolah aku bercerita pada diriku saat aku menumpahkan isi hatiku padamu.

Sudahlah, kau tak lagi sama. Berbeda. Kau orang lain. Mungkin hanya wajahmu yang tak berubah, wajah khas. Wajah yang membuatku tertegun dan bertanya saat pertama melihatnya. "Raditya Dika ?"


Biar batin kau iris, mata dan hatiku tak akan pernah menangis.  

Beginilah caraku menumpahkan perasaanku. Jika tak ada tempat yang layak kujadikan tempat terpercaya untuk berkoar, aku hanya menulis, panjang lebar, kau tentu paling tahu itu.
Kau pernah bilang "Aku janji, gak akan bikin uik nangis. apalagi nangisnya karena aku."
Tenang, janji itu belum kau langgar, air mataku belum tumpah, dan semoga tak akan tumpah hanya karena sebuah 'fakta yang mengudara'.

Aku bertekad, air mata ini akan kuhabiskan untuk menangisi dosa, kelemahan dan kekuranganku dalam membuat Ibu dan Ayah mengangis haru bangga akan ku.


Andai kau jadi aku :) 

Ya, andai kau jadi aku. Sungguh tak nyaman rasanya ketika hal yang membuat hari terasa lengkap kini harus benar-benar ku hilangkan, ku hapus, ku buang jauh agar tak ku harap atau setidaknya ku kenang lagi. Aku tak ingin membuang ratusan hari yang berjalan begitu sempurna, dengan canda tawa yang menggelegar, dengan perhatian kecil dan saling mengingatkan yang terjalin, mungkin mulai sekarang tak ada yang perlu ku ingatkan "jangan lupa sholat". Aah, mungkin dalam sehari bukan cuma aku yang mengirim pesan seperti itu, hingga kau pasti juga bosan dengan kalimat yang teramat sangat klise itu.

Tidak, aku tak berharap kau jadi aku. Jadi seperti kecewaku, sedihku. 


Semoga kau tak akan pernah merasakan kecewa sekronis ini. aamiin..  

Aku tak akan menaruh dendam padamu, sekalipun password atau apapun yang berkenaan dengan akunmu telah kau beri tahu padaku, aku tak beniat merubah apapun. Itu hakmu, hak penuhmu. Tak ada secuilpun hak atas aku  untuk merubahnya, aku pun tak berniat sama sekali. Namun maaf, phonebook name mu telah ku ubah. karena sungguh tak tahu malu rasanya jika nomor handphone mu kutulis sebagai namaku Dwy Rozaini (APS)


Dan semoga seumur hidup hal ini tak ku lupa, demi memetik hikmah Mu. 

Belum semua yang kurasa telah tumpah di sini. Masih banyak hal yang mengganjal. Tapi biarlah, tentu akan terbiasa seiring waktu.
Tentu kau tau aku, aku tak mudah melupa.
 
Aku tak akan membencimu, tidak. aku hanya tak akan lupa.

Terakhir, walau klise bagimu.
Jangan lupa sholat ya.

Sabtu, 02 Juni 2012

Setahun itu


Anggaplah saja aku lupa
Anggap aku tak pernah ingat
Anggap aku tak pernah tahu
Anggap aku tak pernah berucap
Anggap aku tak pernah menyebut namamu dalam tengadahan tanganku
Dalam doaku

Sungguh
Aku ingat, sangat ingat
Bahkan begitu segar di ingatan

Namun sudah, anggap saja aku lupa
Anggap aku tak pernah ingat
Anggap aku tak pernah tahu
Anggap aku tak pernah berucap
Anggap aku tak pernah menyebut namamu dalam tengadahan tanganku
dalam doaku

Toh, aku menyimpanmu di ingatan,
Bukan di hati