Minggu, 29 Juli 2018

Settle Down

Beberapa waktu belakangan, lingkungan di sekitarku sedang rame-ramenya acara pertunangan dan nikahan. Bahkan salah satu keluargaku juga udah resmi jadi isteri orang. It's like a dream. It really is! Intan, temen main waktu kecil. Temen sharing perihal cinta monyet anak SD. Temen diskusi besok ke sekolah pake anting warna apa hahaha. Bahkan bisa dibilang, aku salah satu saksi metamorfosanya dia.

I couldn't happier for you, ntan! And i am really proud of you. Betapa dia dulunya childish banget, egois, tempramen. Dan sekarang? Kebalikannya! I only see the good things in her. Betapa waktu begitu cepat mengubah seseorang. It also makes me wondering, is life too hurry or am i too slow?

To be honest, I'm not a risk taker one nor a decision maker. Bahkan untuk keputusan pribadi. I'm a real thinker. Seorang pemikir yang lama memutuskan sesuatu. Dalam banyak hal. Dari hal penting hingga hal remeh. Apalagi soal memilih partner hidup. Ada banyak hal yang ku timbang-timbang agar tak berat sebelah. Bukan dari sisi si 'partner' saja, tapi juga dari sisi diriku sendiri.

Pernikahan, ibadah terlama. Seumur hidup.
Sejak akad hingga akhir hayat. Dia lah teman hidup lo!
Sejak akad, the bridge has burned down.
Sejak akad, you've gone for a one way ticket trip. No way back.

Dia lah teman yang harus kamu turuti.
Teman yang selama sisa hidupmu (yang harusnya) hanya ada dia.
Temanmu dalam tiap naik turunnya hidup.
Teman menangismu ketika ditampar realita bahwa tabungan belum cukup untuk membeli mimpi kalian.
Teman tertawamu ketika hidup cukup lucu dengan sejuta kejutannya.
Teman bertukar peluk hangat yang setia.
Teman berbagi semangat.
Teman yang bahkan meski tangannya tak kekar lagi, ia masih setia memijit bahumu sebelum tidur.

Pernikahan. Sebuah fase yang (harusnya) indah. Maka jika salah memilih, seumur hidup akan terasa salah. Seperti mendaki gunung dengan hanya kalian berdua sebagai pendaki. Jika partnermu tangguh, cakap, cekat, setia, supportive, sampai lah kalian di puncak. Bayangkan jika partnermu pengeluh, mudah menyerah, tak setia, akan berpencar lah masing-masing kalian.

Semoga orang yang kalian pilih jadi teman, adalah partner mendaki yang baik. Yang setia. Yang sabar dan sadar. Bahwa pernikahan adalah sepenuhnya ibadah. Menuju puncak-Nya.
Semoga orang yang kalian pilih jadi teman, adalah yang satu visi. Untuk bersama-sama meraih surga.

Yakinlah pada andil Tuhan. Dia lah yang terpilih untukmu dan telah Tuhan gariskan. Bahkan sebelum kalian dilahirkan. Romantis bukan?

Senin, 02 Juli 2018

Menjadi Subjek

Apa yang kita lakukan, akan dibalas pula setimpal. Bahagia yang kita bagi, tawa yang kita buat, bahkan sakit yang kita ciptakan di hati orang lain, akan dibalas serupa. Setidaknya itu yang aku percaya. Namun mungkin tak ku terapkan dalam beberapa waktu belakangan. Aku lupa hukum alam yang satu itu. Bahwa hukuman berlaku untuk siapa saja. Tanpa kecuali. Yang aku fikirkan selalu adalah senangku saja, sedihku saja, sakitku saja. Bagaimana orang lain? Aku menjadi diriku versi antagonis dalam beberapa hal.

Hari ini otak ku berfungsi kembali. Kembali mulai berfikir dan membaca-baca diri. Hari ini aku senang, ku kenang-kenang, siapa yang pernah aku senangkan hatinya dulu? Hari ini aku sedih tak terperi, ku timbang-timbang lagi, siapa yang dulu hatinya ku buat sedih? Jika boleh memilih, aku mau semua hal buruk dulu diakumulasi saja, aku ingin bayar lunas sekarang. Biar jangan sedih diulang-ulang.

Siapapun, hanya ingin tenang. Hidup dengan hati dan fikiran yang damai. Tanpa beban. Aku pun juga. Hanya ingin tenang.

Mengerti lalu dimengerti.
Memahami lalu dipahami.
Menerima lalu diterima.
Menghargai lalu dihargai.
Mencintai lalu dicintai.

Teori memang selalu sesederhana itu. Nyatanya manusia ingin selalu jadi objek.

Objek yang dimengerti.
Objek yang dipahami.
Objek yang diterima.
Objek yang dihargai.
Objek yang dicintai.

Lalu lupa jadi Subjek, yang mengerti, memahami, menerima, menghargai, mencintai.
Kita, manusia, seegois itu. Rasanya tak kan begitu sulit untuk jadi subjek yang membahagiakan orang lain. Menjadi subjek dan objek yang saling membahagiakan. Sederhana.

Sesederhana menjaga lisan atas pertanyaan yang tak seharusnya kau lontarkan pada temanmu saat reuni sekolah.

Sesederhana wanita yang repot-repot belajar memasak makanan favorit kekasihnya.

Sesederhana pria yang mengirim pesan pada wanitanya bahwa ia tengah ditumpuk oleh pekerjaan, agar sang kekasih tak perlu lama menunggu.
Sesederhana ucapan selamat atas prestasi temanmu.

Sesederhana ucapan maaf atas salahmu.

Sesederhana ucapan selamat beristirahat atau sekedar selamat pagi, have a nice day.

Sesederhana itu.

Menjadi subjek tidaklah rumit. Namun kadang kita lupa untuk membahagiakan. Kita terkadang lupa, disamping diri sendiri, ada objek lain pula yang perlu kita bahagiakan.


Teruntuk siapa saja yang membaca ini.
Maaf, jika hatimu pernah ku buat sakit. Jika tidurmu pernah terganggu karena ucap dan sikapku.

Teruntuk Dwy Rozaini,
Di dunia yang kamu bisa jadi siapa saja, jadilah orang baik.

Teruntuk teman lamaku,
Selamat melanjutkan hidup. Semoga Bahagia.



Bagansiapiapi, 02 Juli 2018.
Setelah mengirim pesan padamu