Rabu, 26 Desember 2012

Hari ini dan setelah nanti

       Ada banyak hari yang telah terlewati. Tapi entah kenapa, hari ini, hari yang sangat ingin kutulis, kubaca dan kuingat serta kurasa lagi nantinya. Hari dimana satu hati kecil yang merasa sepi. Merasa kurang. Merasa tak lengkap, hanya karena satu kepingan hati lagi yang entah dimana. Ada hati yang begitu kurindui saat ini. Ada mata yang tak ku sapa pagi ini. Tak ada mentari serta bayang ku sendiri.

Aku tak tau apakah Siti Hawa merasakan ini? Atau Ainun pernah merasa serindu ini?
Entah ini diartikan rindu atau perasaan yang membenci sepi dan sendiri?


       Begitu tak menentu diawal pagi, ketika kembali harus sendiri. Entah hati itu yang tak perasa atau aku yang terlalu merasa. Berjalan dilorong panjang yang telah berkali-kali kulewati sendiri, namun rasanya tak sesepi hari ini. Hembusan angin menerpa ku, ia membelai selendang panjangmu yang menbalut wajahku ini. Kemilau surya menyapaku dibalik celah-celah dedaunan pohon, sinarnya menyilaukanku, memperkecil kornea mata sendu ini. Jam tangan abu-abu melingkar sempurna di lenganku menunjukkan pukul 09.45. Waktu yang tepat untuk menyeruput oksigen segar pagi hari.

       Aku tak sempurna. Memang, tak pernah aku sempurna. Tapi ini tak sama, ini bukan hari ku, bukan hari ku jika pagiku tanpamu, bukan hariku jika menatap langit senjaku tanpamu. Langit yang ku kagumi dikala jarum-jarum berbaring diangka 05.45. Langit yang sering kuberi nama 'Vanilla Twilight'. Langit berwarna kuning keemasan berbingkai bayangan hitam, siluet pepohonan.
 
       Meski tak terbiasa, aku harus bisa.
Hati mu itu tengah dirindukan. Tak sadarkah kau?
Ada hati disini. Hati yang nantinya akan berjuang untuk kembali membiasakan diri untuk sendiri saat kau akan pergi. Aku tak menuntut kau apapun, hanya hati yang merengek mengucap rindu selalu. Dan ia memaksamu untuk redakan gelombang rindu itu.

Kamis, 13 Desember 2012

Eighteen love



13 Desember 1994. Hari dimana puncak perjuangan panjang seseorang selama 9 bulan dalam mengandungku. Tuhan telah memberikan aku nyawa. Memberikan kesempatan bagiku untuk menangis dan mendengar kumandang adzan untuk pertama kali. Sebuah doa telah terkabulkan. Percakapan denganNya telah didengar. Jalan Tuhan telah jelas. Di bulan Desember tahun itu telah terajut sejarah baru bagi orang-orang disekitarku.

18 tahun lalu aku menangis. Namun aku belum yakin akan alasanku menangis kala itu. Tak ubah dengan saat itu, kini pun air mataku tumpah. Namun aku yakin dengan jelas akan alasan mengapa aku menguras air mata. Tangisan yang tak lain karena sebuah rasa yang berbaur; syukur, sesal dan kesal. Syukur akan orang-orang yang dititipkan padaku, akan semua kesempatan, nikmat, kemudahan. Sesal untuk semua kesempatan yang tak ku gunakan dengan baik, pada hal-hal tak berguna yang telah ku lakukan. Kesal pada diri sendiri yang belum mampu memberikan apa-apa bagi orang disekitarku di 18 tahun terakhir.

Telah 18 tahun Tuhan membiarkan jiwa ini bersarang pada raga, hingga jantung ini tak berhenti berdetak. Kusyukuri itu. “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”

Bukan umur panjang yang ku mohon jika tiada gunaku. Bukan umur panjang yang ku pinta jika hidup ku menambah beban. Aku ingin hidup, berjuang, belajar, menjadi lebih baik, memberi manfaat, menjadi alasan setiap senyum dan tawa orang yang ku cinta. Aku ingin mencintai apa yang patut ku cintai, Yaa Rabb.

Telah dewasa usiaku, dewasakanlah tingkahku, dewasakanlah pola fikirku, dewasakanlah ilmuku, dewasakanlah cintaku. Aamiin..