Malam
itu Rani mengetuk jendela kamar ku lagi, tapi kali ini raut wajahnya tak
secerah saat terakhir kali ia melakukan hal yang sama seperti saat ini. Apa
lagi yang perlu ia kabarkan padaku? Setelah berhari hari ia puasa bicara
padaku. Belum ku buka jendela, buru-buru ku lihat jam di meja. Hampir tengah malam. Apa yang mengusikmu,
Rani?
Ia
langsung menghambur di pelukan ketika belum sempat aku berucap apa-apa. Rani..
apalagi yang bisa aku lakukan untukmu? Kali ini hampir aku tak punya cara untuk
menghentikan tangis sendu mu itu. Aku memilih diam mematung, lalu kuberanikan
diri membalas pelukmu. Semoga hatimu segera tenang, aku menunggu tumpahan keluh
kesahmu, seperti biasa.
Ku
lirik jam, tengah malam lewat sudah. Peluk mu masih erat melingkari tubuhku.
Tangismu mulai reda. Aku paling benci melihatmu seperti ini. Kali ini apa lagi?
Setelah hampir seminggu yang lalu kau datang dengan wajah dan kabar bahagiamu,
kali ini apa? Ku seka tangismu, lalu pelukmu resmi selesai. Dosaku usai.
Rani..
Andai dia adalah aku, kau tak perlu lagi menyebrangi pagar rumah mu untuk tiba
di depan kamar ku. Akan ku peras keringatku demi atap yang sama denganmu. Tak
aku biarkan air matamu jatuh, kau boleh peluk aku setiap waktu, kau bebas
tumpahkan apa pun keluh kesahmu. Bukan dia!
Setelah
kau bercerita sepuasmu, kita lama terdiam. Aku terpaku, tak sanggup bicara,
bahkan sulit bernafas. Yang ku dengar hanyalah detak jarum jam. Lalu ku paksa
diri bicara “pulanglah, Rani. Kau harus bangun pagi. Esok akan ada pria yang
sah untukmu. Tak usah khawatir” ia menatapku lekat, lalu tersenyum.
Tiga
ribu hari denganku, tidak kah pernah sekali pun kau merasa?